Thursday, March 12, 2009
pengeras suara mesjid yg mengganggu
di lingkungan yang penduduknya mayoritas muslim, pengeras suara ini sangat umum terdengar minimal 5 kali sehari, tapi cobalah pergi ke daerah dimana islam menjadi minoritas. jangankan bisa mendengar pengeras suara mesjid, melihat mesjid pun sangat jarang.
kenapa saya membahas pengeras suara mesjid? karena akhir akhir ini saya menyadari bahwa pengeras suara itu sudah terlalu sering disalah gunakan sehingga kenyamanan hidup saya banyak dan banyak (sudah bukan sedikit banyak lagi) terganggu
apabila pengeras suara itu digunakan hanya sesuai dengan peruntukannya, fine. tapi kalau digunakan untuk egonya, hmmm... masalah mulai tercium.
yang paling mengganggu saya adalah digunakannya pengeras suara untuk acara pengajian ibu ibu, tahlilan, ataupun cuma untuk mengaji pribadi. saya sama sekali tidak ada unsur antipati, tapi bukankah semua acara yg saya sebut tadi cenderung acara pribadi atau kelompok kecil? apakah ada kepentingan dari masyarakat sekitar dalam radius 500 m2 sehingga mereka harus ikut mendengar acara atau kegiatan pribadi itu?
hampir setiap sore sampai malam sekitar jam 21:30, ada acara pengajian ibu-ibu atau tahlilan dsb menggunakan speaker masjid di dekat rumah saya. hal itu jelas mengganggu keluarga saya terutama mengganggu proses menuju tidurnya anak saya. tahukah mereka kalau anak-anak terutama balita sulit tidur kalau banyak suara ribut? dan yang paling mengganggu adalah adanya orang yang mengaji (pribadi) sekitar satu jam sebelum azan subuh. tidak hanya mengaji, kadang menyanyikan shalawat dengan suara fals. akibatnya, anak saya yang baru berumur satu setengah tahun pasti terbangun dan menangis. anak bayi aja tau kalau hal itu mengganggu, ko' mereka ngga sadar ya?
dulu saya pernah tinggal di daerah yang memiliki 5 mesjid dalam radius 200 meter. terbayangkah betapa berisiknya ketika waktu sembahyang tiba? tapi mereka cukup tau diri dengan hanya menggunakan pengeras suara itu secukupnya. tapi kenapa di tempat yang sekarang saya tinggali ini, hanya ada 1 mesjid, tapi penggunaan pengeras suaranya termasuk brutal. dan perlu diketahui kalau volume suara dari speaker mesjid di dekat rumah saya itu amat sangat keras. padahal jaraknya dari rumah saya sudah cukup jauh, sekitar 200 meter dan banyak rumah diantaranya. tapi hampir bisa dipastikan kalau speaker itu mulai menyala setiap jam setengah empat pagi dan terus ada orang 'bernyanyi' selama 1 jam lebih sampai azan subuh, orang yang tidur lelap sekalipun akan terganggu. bisa dibayangkan? begitulah
saya sama sekali tidak anti atau alergi terhadap orang yg mengaji. tapi bukankah mengaji adalah kegiatan pribadi yang berusaha menghubungkan orang yang membaca dengan penciptanya? perlukah orang ratusan orang di sekitarnya ikut mendengar? yang penting hubungan dia dengan sang pencipta atau ratusan orang di wilayah itu tau kalau dia bisa mengaji?
Wednesday, March 11, 2009
How do I define God?
Writer: Nino
How do I define God? I don't. Divinities have been understood in various ways in the cultural traditions that we know. Take, say, the core of the established religions today: the Bible. It is basically polytheistic, with the warrior God demanding of his chosen people that they not worship the other Gods and destroy those who do -- in an extremely brutal way, in fact. It would be hard to find a more genocidal text in the literary canon, or a more violent and destructive character than the God who was to be worshipped. So that's one definition.
In the Prophets, one finds (sometimes) a different conception, much more humane. That's why the Prophets (the "dissident intellectuals" of their day) were persecuted, imprisoned, driven into the desert, etc. -- other reasons included their geopolitical analysis, unwelcome to power. The intellectuals who were honored and privileged were those who centuries later were called "false prophets." More or less a cultural universal. There were different conceptions of divinity associated with these tendencies, and Greek and Zoroastrian influences are probable causes for later monotheistic tendencies (how one evaluates these are a different matter).
Looking beyond, we find other conceptions, of many kinds. But I have nothing to propose. People who find such conceptions important for themselves have every right to frame them as they like. Personally, I don't. That's why you haven't found my "thoughts on this [for you] criticaI question." I have none, because I see no need for them (apart from the -- often extremely interesting and revealing -- inquiry into human culture an history).
me saying this:
Dengan mudah orang akan bilang atas dasar suatu agama, maka akan dijadikan sebagai tameng maha sempurna untuk melakukan semua jenis kejahatan dan kesewenang-wenangan... kadang cuma gara-gara cewek, yang diangkat malah ras-nya, gak jarang kericuhan timbul cuma gara2 satu orang ngomong "sipit" ke orang yang lain, dan di bales cuma dengan ngomong "item".
Atau gerombolan "celana ngatung jenggot gelantungan" akan ngotot2an dengan gerombolan "kalung palang", cuma gara-gara rebutan sebidang tanah. gerakan yang dilandasi sejarah gold. gospel dan glory melahirkan kebencian-kebencian yang akhirnya mengkotak2an kita.
gara-gara tuhan kita jadi menyalahkan yang lain, beda tuhan jadi masalah, banyak tuhan banyak masalah, mending gak punya tuhan jadi gak punya masalah...
ada sedikit partai, sedikit masalah. banyak partai banyak masalah... mending gak punya partai gak punya masalah...
God... sesuatu yang bukan untuk didefinisikan, dipertanyakan keberadaan-Nya, di bela-bela atas nama-Nya, karena Dia sudah mempunyai sifat yang "Maha".
terakhir, just stop violence in the name of what you believe